Rabu, 19 Oktober 2016

CERPEN




TEGAR  karya "ZULFI DYAH WARDANI"
 XII 9 ( IPS 3)
(Finalis Sepuluh Besar Lomba Menulis Puisi Dispendik Surabaya 2015)
Tok...tok...tok... !
Terdengar suara ketukanpintu, aku sontak langsung bergegas bangun dari tempat tidurku, kulihat ibu masih sedang terlelap tidur. Aku melihat jam menunjukkan pukul 23.00.
“Ris..ris.. cepat buka pintunya ! “
Aku langsung segera mencari kunci dan membuka pintu. Ternyata kudapati tetanggaku, Pak Nasir menggandeng ayahku yang sedang mabuk tak sadarkan diri.
“Ini Nduk, Bapakmu lagi mabuk, ketemu aku di poskamling sambil jalan sempoyongan, yowes tak anterno muleh.” Ujar Pak Nasir.
“Ini dijaga Bapake yo, nduk! Sing sabar duwe Bapak ngeten niku.” Lanjut Pak Nasir menasehatiku dengan raut muka yang menunjukkan kasihan terhadapku.
“Engge Pak Nasir, matur suwun. “ujarku sambil menahan malu.
Kurangkul ayah, sambil kugandeng masuk ke dalam rumah. Sambil menahan tangis karena sedih dan malu mempunyai ayah yang suka  main judi dan mabuk-mabukan.
Di  rumah berukuran 3 kali 3 meter, di mana tempat untuk tidur, belajar dan dapur menjadi satu, yang biasa disebut dengan kos-kosan.Aku menangis tak tahan lagi menahan air mata yang terus berjatuhan. Melihat ayahku terbaring mabuk di lantai.
Seketika aku tak kuasa untuk melanjutkan tidurku lagi, aku langsung mengambil air wudhu untuk melakukan sholat tahajjud. Di dalam sujudku aku menangis dan berdoa meminta kepada Allah agar ayahku diberikan kesadaran untuk berhenti main judi dan mabuk-mabukan.
Inilah dinamika kehidupan di dalam keluargaku. Ayahku bekerja sebagai seorang satpam perumahan. Ibuku seorang pembantu rumah tangga, aku mempunyai adik laki-laki, bernama Rosyid, yang masih duduk di bangku SD, sedangkan aku, Risna, seorang gadis remaja yang berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa bangkit dalam jurang kesedihan dan siap menyongsong masa depan yang lebih baik dari kondisi kehidupan keluargaku saat ini.
Aku duduk di bangku SMA, aku sangat berterimakasih kepada pemerintah karena telah memberikan bantuan bagi siswa yang tidak mampu, sehingga dapat meringankan beban orang tuaku. Sejak SMP sampai SMA aku selalu mendapat bantuan dana dari pemerintah kota Surabaya lewat sekolah, atau yang biasa disebut dengan siswa mitra warga. Aku sangat mensyukuri itu.
***
Keesokan harinya, ayahku bangun dan tersadar kembali dari alkohol yang telah membuatnya mabuk tadi malam. Ibuku marah besar, dan pecahlah perang adu ocehan di rumahku, hingga tetanggaku sampai mendengarnya, karena memang mau bagaimana lagi, rumah kos yang hanya dibatasi dengan satu tembok saja pasti ketika kami konflik di dalam rumah akan terdengar dengan tetangga yang selainnya.
Ketika aku hendak berangkat ke sekolah, rasanya berat sekali, karena psikisku sedang kacau melihat kedua orangtuaku bertengkar dan pada hari itu juga ibuku tidak punya uang untuk membeli beras, sehingga aku tidak sarapan dan tidak membawa bekal, karena memang tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Bahan pokok beras saja tidak bisa dibeli karena keluargaku sedang krisis ekonomi. Bahan-bahan makanan pokok mengalami kenaikan harga, sedangkan uang ayahku habis untuk main judi. Ayah dan adikku pun sama, mereka berangkat ke tempat tujuan masing-masing tanpa membawa bekal ataupun sarapan.
“ Bu, Risna mau berangkat sekolah. Ibu jangan sedih, walaupun kita tidak bisa makan pagi ini, Risna masih bersyukur karena masih dapat bernafas dengan sehat, sehingga dapat berangkat ke sekolah untuk menuntut ilmu.” Ujarku, sambil mengucap salam dan mencium tangannya.
“ Waalaikumsalam, Hati-hati ya nak, maafkan ibu ora iso bawakan kamu bekal. Kalo nanti ada temanmu yang jajan, kamu minggir aja ya nak.” Ujar ibuku sambil meneteskan air mata.
Aku mengangguk dan tersenyum ikhlas di hadapannya.
Kukayuh sepeda anginku dengan menghirup udara pagi yang membawa semangat untuk menjalani hidup ini.
***
Tak terasa waktu sudah sore, saatnya aku pulang ke rumah dan berharap di rumah setidaknya ada nasi untuk dimakan. Kukayuh sepedaku sambil memimpikan sesuatu. Aku ingin ke depan menjadi orang sukses yang dapat membahagiakan kedua orangtuaku dan menjadi anak yang sholeha yang dapat membuat ayahku sadar dan kembali ke jalan yang benar. Aku berjanji demi nafas yang telah dihembuskan Allah pada diri ini, aku akan menjadi yang terbaik. Ujian dan tantangan hidup akan aku jalani agar dapat mewujudkan mimpiku kelak. Karena aku yakin hukum islam, Man Jadda Wa Jada itu benar. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.
Ketika  aku dalam perjalanan hendak sampai ke rumah, aku melihat ada kegaduhan dari kejauhan di warkop dekat rumahku. Kupercepat kayuhan sepedaku, lalu aku tengok sedang terjadi apakah gerangan di sana. Ternyata betapa terkejutnya aku melihat ayahku jatuh tersungkur di tanah sambil marah-marah sendiri seperti orang gila. Warga di sekitar hanya diam dan melihat kelakuan ayahku yang sudah sangat memalukan. Langsung seketika aku menghampirinya.
“ Ayah, ayo pulang ! “
“ Jangan mabuk-mabukan terus ayah !”
“ Apa sih, sudah, pulang sana kamu ! Nggak usah sok ngajarin ayah. Ayah bisa pulang sendiri.”
“ Cepat sana pulang!” ujar ayahku sambil mendorongku dengan kasar.
Tanpa banyak bicara lagi, tangan ayahku langsung kugandeng dan kubawa pulang ayahku sambil menahan rasa malu yang sangat besar.
Sesampainya di rumah,.
“Ya Allah, Mas..!”
“Sampean mabuk lagi??” Astaghfirullah..
Ucap ibuku kaget melihat ayahku dengan nada bicara yang tinggi.
“Iya bu, tadi Risna  mendapati ayah mabuk di warkop, langsung Risna bawa pulang.”
Ucapku sambil menahan tangis.
“ Sudah Risna, ayo Nak, kamu segara makan, biar ibu yang urus ayahmu yang tidak tahu malu ini.” Kata ibu dengan suara geram.
Alhadulillah, kulihat ada nasi di wakul dan ikan pindang. Mungkin ini uang gajian harian ibuku sebagai seorang pembantu, pikirku. Aku tak kuasa lagi menahan lapar, aku langsung makan sambil meneteskan air mata.
***
Keesokan harinya, ketika aku di sekolah, aku mendatangi ruang BK, dan berniat untuk curhat kepada guru BK yang sudah akrab denganku. Beliau sudah aku anggap sebagai orang tuaku di sekolah. Namanya Ibu Lina. Guru BK yang seumuran dengan ibu kandungku, dengan paras cantik dan mempunyai kesabaran yang sangat tinggi. Aku mulai mencurahkan semua kesedihanku kepada Bu Lina. Seperti biasa Bu Lina mendengarkanku dengan baik dan memberiku motivasi serta semangat agar aku tetap tegar menjalani kehidupan.
  Iya, Ibu paham Nak, sekarang psikis Risna sedang tertekan, karena kerap kali menahan malu dan beban pikiran yang sangat berat.“
“ Dan Risna juga harus mengerti, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya..”
“ Cobaan yang yang dialami Risna saat ini, menunjukkan bahwa Allah tahu kalau Risna masih mampu menjalaninya, dan Allah memberikan sebuah kedewasaan ketika masalah berdatangan.”
  Jadi masalah apapun yang kita hadapi itu, akan senantiasa melatih kedewasaan kita.”
Aku langsung termenung sejenak dan menghayati benar apa yang telah Bu Lina katakan padaku. Semangatku seakan terisi kembali oleh bahan bakar kekuatan motivasi yang dapat membangkitkanku dari jurang kesedihan.
“ Terima kasih Ibu, atas nasihat dan motivasinya.”
“ Aku akan berusaha agar tetap tegar.” Ucapku dengan penuh keyakinan.
“ Nah, itu baru anak ibu. Ingat ya sayang, Allah selalu melatih ketegaran dalam kesakitan.”
“ Iya Ibu. Man Jadda Wa Jada” sahutku sambil tersenyum bahagia.
***
Tak terasa waktu terus berjalan, ketika jam sekolah telah usai, aku langsung bergegas pulang ke rumah, agar ibu tidak mendahuluiku, sehingga aku bisa bersih-bersih rumah sebelum ibu datang pulang kerja.
Sesampainya di rumah, kulihat tidak ada siapapun, aku langsung membereskan rumah dengan segera. Tak lama kemudian, ibu dan adikku datang, dan kita pun makan bersama seadanya dengan nasi, sambal dan tempe goreng.
Hari sudah malam. Dan ayah juga tak kunjung pulang. Aku dan ibukku khawatir. Tak kuasa melihat ibu sedang bingung. Aku pun langsung mencari ayahku dengan bersepeda malam-malam.
Setelah lama mengayun sepedaku, hingga aku sampai di perempatan jalan raya dan melihat ayahku jalan sempoyongan, aku langsung menghampirinya. Ayah tanpa melihat kanan kirinya ketika melangkahkan kakinya karena dalam kondisi mabuk, hingga ayah menyebrang dan hendak tertabrak mobil pick up yang melaju kencang. Aku yang sudah berada di belakangnya langsung berteriak dan mendorongnya agar tidak tertabrak.
“ Ayah, awas…!”
Kecelakaan pun tak dapat terelekkan, ayahku kudorong dan tesungkur di tanah, sedangkan aku..
Aku merasa ada yang berbeda pada kakikku, aku merasakan sakit yang sangat dahsyat, hingga membuatku tak sadarkan diri.
***
Ketika aku membuka mata, aku melihat ibu di sampingku, dan aku terbaring di kasur dan ternyata aku berada di rumah sakit.
“ Kakikku… Ya Allah, apa yang terjadi? “
“ Anakku sayang, kamu sudah sadar?”
Ibu menangis sambil mengelus kepalaku. Dan seketika itu ibu bilang kepadaku,
“ kaki kirimu tertabrak mobil pick up tadi malam. Dan kata dokter harus diamputasi, karena jika tidak saraf yang sudah terkena infeksi akan menjalar ke anggota tubuh yang lain.” Ujar ibuku sambil meneteskan air mata yang sangat deras, hingga membasahi tanganku.
Aku terdiam sejenak. Aku teringat kata Bu Lina bahwa Allah itu melatih ketegaran dalam kesakitan.
Sontak aku langsung berkata,
“ Ibuku sayang, jangan bersedih, mungkin saat ini Allah telah mencabut nikmat salah satu kakikku, dan aku telah ikhlas dan bersyukur karena masih mempunyai satu kaki sebelah kanan.”
Kataku sambil tersenyum dan mengusap air mata ibuku.
Akhirnya kakikku diamputasi oleh dokter, dan aku tidak mengira bahwa biaya rumah sakit ditanggung oleh Ibu Lina yang pasca kakikku diamputasi, menjengukku di rumah sakit.
“ Nak, yang sabar ya. Ibu percaya, bahwa Risna adalah gadis yang kuat, Risna adalah anak yang senantiasa tetap tegar menhadapi setiap cobaan dan masalah yang membuat Risna semakin tangguh.” Ujar Bu Lina sambil menahan tangis.
“ Iya ibu. Risna tidak sedih kok. Karena Risna percaya bahwa Allah itu selalu berada di dekat kita. Dan aku tetap tidak akan berhenti berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk mewujudkan impianku walaupun dengan kondisiku yang sekarang.” Jawabku dengan semangat.
“ Ibu bangga sama kamu Nak.” Ucap Bu Lina tersenyum bahagia.
***
Setelah aku boleh dinyatakan pulang dan istirahat di rumah oleh dokter. Sesampainya di rumah, aku mendapati ayah sedang sholat berjamaah dengan Rosyid, adikku.
Aku mengangis terharu, dan semakin menambah syukurku kepada Allah, karena telah memberikan kesadaran kepada ayahku untuk kembali ke jalan yang benar.
Setelah selesai sholat, ayah langsung menghampiriku dan menangis di hadapanku, sambil berkata,
“ Anakku, Risna, maafkan ayah. Ayah menyesal telah melakukan banyak hal yang membuatmu sedih dan malu mempunyai ayah yang seperti ini. Mungkin kata maaf saja tidak cukup, karena telah membuatmu seperti ini.” Ujar ayahku sambil memandangku dengan belas kasih.
“ Ayah, dengarkan Risna, saat ini Risna sangat bahagia sekali karena ayah telah insaf. Dan Alhamdulillah hal yang kuharapkan selama ini telah terjadi adanya. Terimakasih Ya Allah.” Ujarku sambil tersenyum.
Ayah pun seketika memelukku dengan penuh kasih sayang. Aku sangat bahagia sekali. Betapa besar kuasa dan nikmat Allah yang telah mempersiapkan rencana yang indah dalam hidupku. Aku semakin mengerti bahwa bersyukur atas apa yang telah terjadi dalam kehidupan kita itu sangatlah penting. Aku memperoleh hikmah dari cobaan yang telah menimpa diriku. Dan itu membuatku semakin bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar