TEGAR karya "ZULFI DYAH WARDANI"
XII 9 ( IPS 3)
(Finalis Sepuluh Besar Lomba Menulis Puisi Dispendik Surabaya 2015)
Tok...tok...tok... !
Terdengar suara ketukanpintu,
aku sontak langsung bergegas bangun dari tempat tidurku, kulihat ibu masih sedang
terlelap tidur. Aku melihat jam menunjukkan pukul 23.00.
“Ris..ris.. cepat buka pintunya
! “
Aku langsung segera mencari
kunci dan membuka pintu. Ternyata kudapati tetanggaku, Pak Nasir menggandeng ayahku
yang sedang mabuk tak sadarkan diri.
“Ini Nduk, Bapakmu lagi mabuk, ketemu aku di
poskamling sambil jalan sempoyongan, yowes tak anterno muleh.” Ujar Pak Nasir.
“Ini dijaga Bapake yo, nduk!
Sing sabar duwe Bapak ngeten niku.” Lanjut Pak Nasir menasehatiku dengan raut muka
yang menunjukkan kasihan terhadapku.
“Engge Pak Nasir, matur suwun. “ujarku sambil menahan malu.
Kurangkul ayah, sambil kugandeng
masuk ke dalam rumah. Sambil menahan tangis karena sedih dan malu mempunyai
ayah yang suka main judi dan mabuk-mabukan.
Di rumah berukuran 3 kali 3 meter, di mana tempat untuk tidur, belajar dan dapur menjadi
satu, yang biasa disebut dengan kos-kosan.Aku menangis tak tahan lagi menahan air mata yang terus berjatuhan.
Melihat ayahku terbaring mabuk di lantai.
Seketika aku tak kuasa untuk
melanjutkan tidurku lagi, aku langsung mengambil air wudhu untuk melakukan sholat
tahajjud. Di dalam sujudku aku menangis dan berdoa meminta kepada Allah agar
ayahku diberikan kesadaran untuk berhenti main judi dan mabuk-mabukan.
Inilah dinamika kehidupan di dalam keluargaku. Ayahku bekerja sebagai
seorang satpam perumahan. Ibuku seorang pembantu rumah tangga, aku mempunyai
adik laki-laki, bernama Rosyid, yang masih duduk di bangku SD, sedangkan aku,
Risna, seorang gadis remaja yang berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa bangkit
dalam jurang kesedihan dan siap menyongsong masa depan yang lebih baik dari
kondisi kehidupan keluargaku saat ini.
Aku duduk di bangku SMA, aku sangat berterimakasih kepada pemerintah karena
telah memberikan bantuan bagi siswa yang tidak mampu, sehingga dapat meringankan
beban orang tuaku. Sejak SMP sampai SMA aku selalu mendapat bantuan dana dari
pemerintah kota Surabaya
lewat sekolah, atau yang biasa disebut dengan siswa mitra warga. Aku sangat
mensyukuri itu.
***
Keesokan harinya,
ayahku bangun dan tersadar kembali dari alkohol yang telah membuatnya mabuk
tadi malam. Ibuku marah besar, dan pecahlah perang adu ocehan di rumahku,
hingga tetanggaku sampai mendengarnya, karena memang mau bagaimana lagi, rumah
kos yang hanya dibatasi dengan satu tembok saja pasti ketika kami konflik di
dalam rumah akan terdengar dengan tetangga yang selainnya.
Ketika
aku hendak berangkat ke sekolah, rasanya berat sekali, karena psikisku sedang
kacau melihat kedua orangtuaku bertengkar dan pada hari itu juga ibuku tidak punya
uang untuk membeli beras, sehingga aku tidak sarapan dan tidak membawa bekal,
karena memang tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Bahan pokok beras saja tidak
bisa dibeli karena keluargaku sedang krisis ekonomi. Bahan-bahan makanan pokok
mengalami kenaikan harga, sedangkan uang ayahku habis untuk main judi. Ayah dan
adikku pun sama, mereka berangkat ke tempat tujuan masing-masing tanpa membawa
bekal ataupun sarapan.
“ Bu, Risna mau
berangkat sekolah. Ibu jangan sedih, walaupun kita tidak bisa makan pagi ini,
Risna masih bersyukur karena masih dapat bernafas dengan sehat, sehingga dapat
berangkat ke sekolah untuk menuntut ilmu.” Ujarku, sambil mengucap salam dan
mencium tangannya.
“ Waalaikumsalam,
Hati-hati ya nak, maafkan ibu ora iso bawakan kamu bekal. Kalo nanti ada temanmu yang jajan, kamu minggir aja ya nak.”
Ujar ibuku sambil meneteskan air mata.
Aku mengangguk dan
tersenyum ikhlas di hadapannya.
Kukayuh sepeda anginku
dengan menghirup udara pagi yang membawa semangat untuk menjalani hidup ini.
***
Tak terasa waktu sudah
sore, saatnya aku pulang ke rumah dan berharap di rumah setidaknya ada nasi
untuk dimakan. Kukayuh sepedaku sambil memimpikan sesuatu. Aku ingin ke depan
menjadi orang sukses yang dapat membahagiakan kedua orangtuaku dan menjadi anak
yang sholeha yang dapat membuat ayahku sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Aku berjanji demi nafas yang telah dihembuskan Allah pada diri ini, aku akan menjadi yang terbaik. Ujian
dan tantangan hidup akan aku jalani agar dapat mewujudkan mimpiku kelak. Karena
aku yakin hukum islam, “Man
Jadda Wa Jada”
itu benar. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.
Ketika aku dalam perjalanan hendak sampai ke rumah,
aku melihat ada kegaduhan dari kejauhan di warkop dekat rumahku. Kupercepat
kayuhan sepedaku, lalu aku
tengok sedang terjadi apakah gerangan
di sana. Ternyata
betapa terkejutnya aku melihat ayahku jatuh tersungkur di tanah sambil
marah-marah sendiri seperti orang gila. Warga di sekitar hanya diam dan melihat
kelakuan ayahku yang sudah sangat memalukan. Langsung seketika aku
menghampirinya.
“ Ayah, ayo pulang ! “
“ Jangan mabuk-mabukan
terus ayah !”
“ Apa sih, sudah, pulang sana kamu ! Nggak usah sok ngajarin ayah. Ayah bisa
pulang sendiri.”
“ Cepat sana pulang!”
ujar ayahku sambil mendorongku dengan kasar.
Tanpa banyak bicara
lagi, tangan ayahku langsung kugandeng dan kubawa pulang ayahku sambil menahan
rasa malu yang sangat besar.
Sesampainya di rumah,.
“Ya Allah, Mas..!”
“Sampean mabuk lagi??”
Astaghfirullah..
Ucap ibuku kaget
melihat ayahku dengan nada bicara yang tinggi.
“Iya bu, tadi
Risna mendapati ayah mabuk di warkop,
langsung Risna bawa pulang.”
Ucapku sambil menahan
tangis.
“ Sudah Risna, ayo Nak, kamu segara makan, biar ibu yang urus ayahmu
yang tidak tahu malu ini.” Kata ibu dengan suara geram.
Alhadulillah, kulihat
ada nasi di wakul dan ikan pindang. Mungkin ini uang gajian harian ibuku
sebagai seorang pembantu, pikirku. Aku tak kuasa lagi menahan lapar, aku
langsung makan sambil meneteskan air mata.
***
Keesokan harinya, ketika
aku di sekolah, aku mendatangi ruang BK, dan berniat untuk curhat kepada guru BK yang sudah
akrab denganku. Beliau sudah aku anggap sebagai orang tuaku di sekolah. Namanya Ibu Lina. Guru
BK yang seumuran dengan ibu kandungku, dengan paras cantik dan mempunyai kesabaran yang sangat
tinggi. Aku mulai mencurahkan semua kesedihanku
kepada Bu Lina. Seperti biasa Bu Lina mendengarkanku dengan baik dan memberiku
motivasi serta semangat agar aku tetap tegar menjalani kehidupan.
“ Iya, Ibu paham Nak, sekarang psikis Risna
sedang tertekan, karena kerap kali menahan malu dan beban pikiran yang sangat
berat.“
“ Dan Risna juga harus
mengerti, bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan
hamba-Nya..”
“ Cobaan yang yang
dialami Risna saat ini, menunjukkan bahwa Allah tahu kalau Risna masih mampu
menjalaninya, dan Allah memberikan sebuah kedewasaan ketika masalah
berdatangan.”
“ Jadi masalah apapun yang kita hadapi itu,
akan senantiasa melatih kedewasaan kita.”
Aku langsung termenung
sejenak dan menghayati benar apa yang telah Bu Lina katakan padaku. Semangatku
seakan terisi kembali oleh bahan bakar kekuatan motivasi yang dapat
membangkitkanku dari jurang kesedihan.
“ Terima kasih Ibu, atas nasihat dan
motivasinya.”
“ Aku akan berusaha
agar tetap tegar.” Ucapku dengan penuh keyakinan.
“ Nah, itu baru anak
ibu. Ingat ya sayang, Allah selalu melatih ketegaran dalam kesakitan.”
“ Iya Ibu. Man Jadda Wa
Jada” sahutku sambil tersenyum bahagia.
***
Tak terasa waktu terus
berjalan, ketika jam sekolah telah usai, aku langsung bergegas pulang ke rumah,
agar ibu tidak mendahuluiku, sehingga aku bisa bersih-bersih rumah sebelum ibu
datang pulang kerja.
Sesampainya di rumah,
kulihat tidak ada siapapun, aku langsung membereskan rumah dengan segera. Tak
lama kemudian, ibu dan adikku datang, dan kita pun makan bersama seadanya
dengan nasi, sambal dan tempe goreng.
Hari sudah malam. Dan
ayah juga tak kunjung pulang. Aku dan ibukku khawatir. Tak kuasa melihat ibu
sedang bingung. Aku pun langsung mencari ayahku dengan bersepeda malam-malam.
Setelah lama mengayun
sepedaku, hingga aku sampai di perempatan jalan raya dan melihat ayahku jalan
sempoyongan, aku langsung menghampirinya. Ayah tanpa melihat kanan kirinya
ketika melangkahkan kakinya karena dalam kondisi mabuk, hingga ayah menyebrang dan hendak tertabrak
mobil pick up yang melaju kencang. Aku yang sudah berada di belakangnya
langsung berteriak dan mendorongnya agar tidak tertabrak.
“ Ayah, awas…!”
Kecelakaan pun tak
dapat terelekkan, ayahku kudorong dan tesungkur di tanah, sedangkan aku..
Aku merasa ada yang
berbeda pada kakikku, aku merasakan sakit yang sangat dahsyat, hingga membuatku
tak sadarkan diri.
***
Ketika aku membuka
mata, aku melihat ibu di sampingku, dan aku terbaring di kasur dan ternyata aku
berada di rumah sakit.
“ Kakikku… Ya Allah,
apa yang terjadi? “
“ Anakku sayang, kamu
sudah sadar?”
Ibu menangis sambil
mengelus kepalaku. Dan seketika itu ibu bilang kepadaku,
“ kaki kirimu tertabrak
mobil pick up tadi malam. Dan kata dokter harus diamputasi, karena jika tidak
saraf yang sudah terkena infeksi akan menjalar ke anggota tubuh yang lain.”
Ujar ibuku sambil meneteskan air mata yang sangat deras, hingga membasahi
tanganku.
Aku terdiam sejenak.
Aku teringat kata Bu Lina bahwa Allah itu melatih ketegaran dalam kesakitan.
Sontak aku langsung
berkata,
“ Ibuku sayang, jangan
bersedih, mungkin saat ini Allah telah mencabut nikmat salah satu kakikku, dan
aku telah ikhlas dan bersyukur karena masih mempunyai satu kaki sebelah kanan.”
Kataku sambil tersenyum
dan mengusap air mata ibuku.
Akhirnya kakikku
diamputasi oleh dokter, dan aku tidak mengira bahwa biaya rumah sakit
ditanggung oleh Ibu Lina yang pasca kakikku diamputasi, menjengukku di rumah
sakit.
“ Nak, yang sabar ya.
Ibu percaya, bahwa Risna adalah gadis yang kuat, Risna adalah anak yang
senantiasa tetap tegar menhadapi setiap cobaan dan masalah yang membuat Risna
semakin tangguh.” Ujar Bu Lina sambil menahan tangis.
“ Iya ibu. Risna tidak
sedih kok. Karena Risna percaya bahwa Allah itu selalu berada di dekat kita.
Dan aku tetap tidak akan berhenti berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk
mewujudkan impianku walaupun dengan kondisiku yang sekarang.” Jawabku dengan
semangat.
“ Ibu bangga sama kamu Nak.” Ucap Bu Lina tersenyum bahagia.
***
Setelah aku boleh
dinyatakan pulang dan istirahat di rumah oleh dokter. Sesampainya di rumah, aku
mendapati ayah sedang sholat berjamaah dengan Rosyid, adikku.
Aku mengangis terharu,
dan semakin menambah syukurku kepada Allah, karena telah memberikan kesadaran kepada ayahku untuk kembali ke jalan
yang benar.
Setelah selesai sholat,
ayah langsung menghampiriku dan menangis di hadapanku, sambil berkata,
“ Anakku, Risna,
maafkan ayah. Ayah menyesal telah melakukan banyak hal yang membuatmu sedih dan
malu mempunyai ayah yang seperti ini. Mungkin kata maaf saja tidak cukup,
karena telah membuatmu seperti ini.” Ujar ayahku sambil memandangku dengan belas kasih.
“ Ayah, dengarkan
Risna, saat ini Risna sangat bahagia sekali karena ayah telah insaf. Dan
Alhamdulillah hal yang kuharapkan selama ini telah terjadi adanya. Terimakasih
Ya Allah.” Ujarku sambil tersenyum.
Ayah pun seketika
memelukku dengan penuh kasih sayang. Aku sangat bahagia sekali. Betapa besar
kuasa dan nikmat Allah yang telah mempersiapkan rencana yang indah dalam hidupku. Aku semakin mengerti
bahwa bersyukur atas apa yang telah terjadi dalam kehidupan kita itu sangatlah
penting. Aku memperoleh hikmah dari cobaan yang telah menimpa diriku. Dan itu
membuatku semakin bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar